(Intisari
Pungkasan Mengenai “Multiple Intelligence” - edisi NY 2015)
Seandainya
guru sejarah dapat berkisah tanpa suaranya, maka siswa akan cepat paham pada
makna kisah derita, para gadis keturunan minoritas, korban peristiwa 13 Mei
1998 di tengah kebisuan dan sikap dingin para aparat penegak hukum negeri ini (karena
di luar dunia bahasa dan pemikiran, di luar dunia ucap dan gagasan terdapat
dunia atau dimensi ragam intellegensi lain yang jauh lebih kaya dan cemerlang).
Seandainya
para ulama dan pendeta dapat berkotbah melalui kebisuannya, mereka akan amat
enggan berbaur apalagi berkecimpung dalam dunia politik praktis (gagasan
membentuk satu negara agama atau bahkan jadi penguasa tunggal dunia jadi amat
absurd untuk dunia bisu seperti ini...).
Seandainya
para pendidik tak lagi hanya mengajar gagasan lewat bahasa.
Seandainya
dunia pendidikan tak lagi menguji siswanya melalui ungkap bahasa bicara dan
tulis.
Seandainya
para orang-tua, para ahli ekonomi, para pejabat dan petugas negara, para wakil
rakyat, para petinggi militer dan penegak hukum, para pendidik, para motivator,
para ahli jiwa serta para pendaku sabda dan iman-Nya tiba-tiba tertimpa wabah
bisu!
Maka,...
Perlahan
mereka terpaksa mencermati makna gerak tubuh,
Perlahan
mereka menyadari keagungan makna tatapan mata sesama,
Perlahan
mereka mulai belajar mendengar, dan mengagungkan setiap kidung agung keguyuban (tanpa
perlu membentuk komunitas atau gerakan keguyuban apapun!).
Perlahan
mereka mulai belajar dan paham tentang dunia yang sama sekali baru...
Dunia
keberjamakan dari ragam satuan remah-remah kecil, satuan yang lemah serentak
maha penting, namun terburai lepas.
Dalam
dunia kebisuan seperti ini, kebenaran terbesar dan teragung bukan lagi
kemaha-tunggalan yang singgah di pikiran dan hati gentar masing-masing insan
bisu.
Dalam
dunia seperti ini, keagungan dan kebenaran atau tuhan ter-akbar adalah alam
kebenaran jamak atau tuhan kejamakan dan keberbagian.
Mungkin
tuhan ter-akbar mereka adalah tuhan yang jamak, sebagaimana sesama insan bisu
memuja alam kejamakan, alam kebersilaturohiman...
Kebenaran
atau tuhan ter-akbar singgah di hati saat mereka berhasil menjalin relasi
keberterimaan di antara sesama insan bisu.
Itulah
surga atau taman getsemani mereka.
Dunia
dimana anak-anak, benar dan sungguh
diperanakan oleh Tuhannya.
Kebesaran
singgasana tunggal kebertuhanan sungguh absurd bagi sesama insan bisu dan
dunianya.
Dunia
bisu peng-agung “kewaskitaan” akan mengandalkan keber-”titen”-an (keberpekaan
rasa dan tanggap) alih-alih ketajaman lidah atau pikiran.
Dunia
yang memaksa para pelajarnya untuk mengutamakan kesabaran, kepekaan rasa dan
tanggap alih-alih kecepatan dan ketajaman ungkap bahasa atau gagasan.
Dunia
yang amat menghargai tindak kebersenian dan keindahan alam alih-alih kepiawaian
ber-teknologi atau perekayasaan.
Dunia
kebisuan ini adalah dunia keheningan tindak yang mencerahkan apresiasi cipta
jamak keindahan alami, alih-alih keheningan refleksi pikir keberuniversalan
atau keberteknologian.
Dunia
yang selalu mendorong para pelajarnya untuk mengamati dan meresapi apapun. Bahkan
mengamati dan meresapi gairah seksualitasnya sendiri tanpa perlu cemas dan
takut akan label atau hujatan porno sekalipun.
Dunia
yang memaksa pria dan wanita untuk jujur dan bersungguh dalam mendapatkan
(bukan menemukan) “soulmate”-nya (karena tak mudah dan akan sangat melelahkan
serta menguras banyak waktu dan tenaga untuk membagi perhatian istimewa secara
adil pada lebih dari satu orang).
Dunia
tanpa pandang hujatan bagi segenap cacat atau kelebihan sesama insani bisu (homoseks,
gay, lesbianisme). Karena cacat tersandang di diri sendiri telah menjadi
pelajaran berharga bagi mereka untuk tidak secara murahan menghujat.
Dunia
yang warganya selalu berpikir ulang 1000 kali ulangan untuk bermimpi jadi
pebisnis yang sekedar mengejar keuntungan materi.
Bukan
karena alasan menghindar dari kerja, melainkan karena nilai-nilai keguyuban
yang terlanjur basah mereka puja...
Dunia
yang tak lagi memerlukan aparat militer, karena setiap insan senantiasa telah,
sedang dan akan meniti momen-momen pertempuran hidup mati berkali-kali melawan
egonya sendiri untuk dapat berterima dalam tatapan tuhan kebersilaturahiman
atau tuhan kejamakan-nya.
Neraka
paling jahanam dan mengerikan bagi setiap insan bisu di dunia ini adalah neraka
keterkucilan (Sungguh celaka 12 kali 12, bagi si bisu yang dikucilkan...).
Mereka
lebih suka menghadang pintu kematian daripada pintu keterkucilan...
Dunia
yang disuburkan oleh iman yang sabar dalam kebisuan penuh perhatian dan
keteladanan tindak diri, alih-alih iman keberkitaban yang sok tau dan cerewet. Mungkin
pula, ini jadi dunia yang tidak memerlukan adanya para nabi atau tuhan
sekalipun (Karena di dunia seperti ini, tuhan beserta sabda-Nya telah menyatu
padu dalam alam keberjamakan atau kebersilaturohiman dan terungkap dalam
peka-rasa, peka-tanggap dan kebertitenan).
Dalam
dunia seperti ini, hanya orang gila yang masih berpikir apalagi mensiarkan
tentang segenap ketunggalan atau esa kemahaan dari pintu ke pintu...
Dunia
yang para politikusnya amat santun berkampanye (tanpa yel-2 atau gaung suara
provokator).
Dunia
yang memaksa para pemimpin pemerintah untuk kian tergila-gila dengan kebijakan
blusukan ala Jokowi (karena dalam dunia seperti ini hanya orang dungu yang
masih memiliki praduga sangka bahwa blusukan itu sekedar pencitraan).
Dunia
yang tidak dipolusikan oleh kecerewetan media sosial, dan dunia
yang masyarakatnya tak perlu gerakan guyub apapun, karena tanpa keguyuban,
mereka pasti gagal dalam setiap keberelasian/kebersilaturohiman yang didamba
dan dipuja.
Dunia
yang tidak mengenal label lacur, bodoh, pintar, santun/saleh bahasa, runut,
logis, alim, murtad, penghujat dan lain-lain label pembusuk atau pengagung jiwa
perinsanian. Dunia yang bukan tanah subur bagi para pencemburu dari jenis atau
kaliber apapun (dari pencemburu ideologi, pencemburu kelompok kepentingan
politik hingga pencemburu kelamin, karena di dunia seperti ini pencemburu sama
dengan orang gila yang terobsesi untuk kerja rodi).
Dunia
yang tak membutuhkan satupun ahli jiwa, karena satu-satunya terapi handal yang
memenuhi kehausan mereka akan keberelasian/kebersilaturohiman sudah mereka
kuasai sendiri.
Akhirnya,
aku tercenung dan bertanya-tanya...
Betapa
tahta agung keberbahasaan dan kebercemerlangan gagasan yang memunculkan Tuhan
kecerdasan tunggal (beserta segenap implikasian positif maupun negatifnya) telah menyesatkan banyak jiwa-jiwa modern
yang tak lagi sempat membayangkan atau memikirkan dunia kebisuannya.
Mungkin
dunia seperti ini yang jadi cita-cita pencerah spirit para pioner pejuang negeri
Nuswantara-ku. Semangat kebisuan dalam dunia kebermelekan aksara dan kefasihan
cakap.
Semangat
dan roh yang kuimpi-impikan akan menuntun segenap hidup anak turunanku (…, dan
Nietsczhe pun menghembuskan nafas terakhir dalam keterguncangan dan
ketersudutan visi “ketajaman bahasanya” sendiri, pada saat yang diyakininya
sebagai momen atau detik-detik kelahiran Yesus. Tentu saja ini terjadi dalam
arus deras keterguncangan jiwanya. Wallahualam!)
Selamat
Natal dan Tahun Baru 2015.
Gloria
in excelsis Deo...
Ia
yang pada akhirnya memilih kebisuan jalan salib-Nya. GBU !
#iisavisiwaskita #kecerdasanjamak #kebersilaturohimaninsani