Senin, 29 Desember 2014

PARADIGMA KEBISUAN (BENIH KECERDASAN JAMAK) DALAM CERPEN...



Paparan tentang kebisuan yang sangat mengesankan terangkum dalam cerpen kompas minggu kali ini. Penulisnya adalah Sdr. Mashdar Zainal dan berjudul Perempuan Yang Menjahit Bibirnya Sendiri (Ref. nomor 3). Intisari ceritanya adalah penjabaran peringatan "Mulutmu Harimaumu" terhadap seorang wanita yang sangat cerewet. Akibat kecerewetannya itu ia merasa telah menjadi sumber atau akar permasalahan dari kematian orang-orang terdekat yang dicintainya. Ayah, ibu, dan adik perempuannya sendiri.Rasa bersalah yang demikian dalam mendorongnya untuk menjahit mulut, namun dengan tindakannya itu, tanpa sadar ia telah memagkas habis kemungkinan bagi si mulut untuk tersenyum.... 
                Pesan yang saya tangkap dari kisah itu adalah bahwa sang tokoh (perempuan cerewet),-karena rasa bersalahnya-,telah merancukan sumber permasalahan dengan saluran atau media penyampaian. Sebagaimana orang yang kesal,- setelah tokoh gamevirtual yang dipujanya ternyata kalah dalam kancah pertandingan -, langsung mematikan kontak komputer dengan sumber listrik alih-alih mematikan program gamenya terlebih dahulu. Kemampuan berpikir kognitif secara jernih telah dilumpuhkan oleh rasa bersalah dalam hatinya sendiri. Mekanisme konstruksi yang terlampau cepat mengeksekusi ( dari memori kedukaan ke hati dan putusan tindakan secara kognitif yang tersamar ilusi sesat) jamak terjadi pada orang-orang modern yang sudah kurang menghargai makna kualitatif kebisuan ( persoalan ini terpapar dalam referensi nomor 1 dan 2).Dunia modern dengan dramatisasi ketunggalannya yang serba instant (kebenaran tunggal, cara, penglihatan dan sumber tunggal) telah pula melahirkan orang-orang berdimensi tunggal. Ketunggalan visinya telah menutup kemungkinan ragam konstruksi. Ragam konstruksi yang seharusnya ditanamkan sejak dini (dari ia dikandung) telah mati dini, saat modalitas kebahasaan dan atau pemikiran jadi peliharaan mewah yang terkurung dalam sangkar emas spiritualitas tunggal.Ia menangkap dan mencerna memori sebagaimana orang modern menangkap dirinya dalam tokoh  bintang simulasian virtual yang sudah tak lagi merepresentasikan dunia riil.
                Dalam catatan minggu yang berjudul Waktu, Bre Redana menggambarkan simulasian virtual dunia modern yang telah menjadi gaya hidup serba instant. Gaya hidup yang serba cepat dan cerewet yang memangkas habis waktu kualitatif dari keheningan. Pola arus lintas konstruksi dorongan (drive) dari persepsi ke verbal dan pemikiran membabat habis keragaman nilai kualitatif yang terkandung dalam konstruksi keberjarakan (gap) dari paradigma kebisuan.Lintas konstruksi cepat yang seharusnya hanya ada dalam situasi krisis ini aplikasiannya telah tergeneralisasi dalam lintas linear ketunggalan ke segenap ranah kehidupan...
                Samuel Mulia dengan tulisan berjudul Berhitung (dalam ruang Parodi) merekam cara kecerdasan jamak meng-interrelasi-kan antara kemampuan berpikir logika matematika dengan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Intinya, si penulis ingin membuktikan bahwa antara kedua modalitas berpikir itu (logika matematika dan inter/intra-personal) terdapat diskrepansi (celah) "padat kabut penutup" yang dapat mengaburkan (merancukan) sumber atau akar persoalannya. Sumber kediriannya hilang bersama sebaran numerik asumsiannya...      
 
#IISAVISIWASKITA  #KECERDASANJAMAK  #PARADIGMAKEBISUAN


1. Waktu,Catatan Minggu, Bre Redana.
2. Berhitung, Parodi, Samuel Mulia.
3. Perempuan Yang Menjahit Bibirnya sendiri, Cerpen, Mashdar Zainal.

Masyarakat Yang Bicara Dan Berpikir Melalui Paradigma Kebisuan



(Menanggulangi Arus Besar Radikalitas dan Hiperprovokasi ala Posmodern dengan Kewaskitaan yang bersumber dari Kecerdasan Jamak - Psikologi Politik & Budaya untuk Kebhinekaan )

 Paradigma kebisuan yang saya maksudkan berarti pergeseran titik fokus perhatian dalam wacana perkembangan manusia dari yang berfokus pada kancah (arena) kebahasaan (oral, verbal) dan atau pemikiran (kognitif) menuju (wacana) keberfokusan pada kancah (arena) fase perkembangan modalitas sebelum  perkembangan kedua modalitas tersebut, seperti modalitas kinestetik, pendengaran (audio) dan penglihatan (visual).Dengan demikian, kata "kebisuan" di sini selain memiliki arti harafiah umum yaitu tanpa melalui pengungkapan secara verbal,juga mengandung makna yang lebih luas yaitu kebisuan dalam menanggapi atau mewacanakan ketiga modalitas (pra-modalitas padu kebahasaan dan atau pemikiran).

Ketiga modalitas tersebut merupakan batu-bata fondasi bagi keutuhan kemanusiaan kita. Tanpa fondasi yang kokoh,maka penguasaan kedua modalitas padu itu hanya akan memperparah keterbelahan manusia (ref). Lebih jelasnya, pengabaian pada ketiga modalitas tersebut mungkin dapat digambarkan seperti irama musik yang kehilangan tema dan didengar tanpa antisipasian. Musik seindah apapun jadi terkesan tanpa roh atau nyawa, sebaliknya dengan musik yang bertema kuat, selemah apapun keartistikan musik tersebut akan dapat menggerakkan jiwa-jiwa pendengarnya. Biasanya, tema yang kuat akan mendorong terciptanya keindahan tertentu dari musiknya.Freud menjelaskan bahwa represi adalah kegagalan untuk menerjemahkan pelbagai mnemic systems menjadi bentuk atau notasi. (1,h.73).Keterdekatan saya dengan tema relijius Kristiani, mendorong saya untuk menduga-duga bahwa ketiga modalitas manusiawi itu adalah batu bata yang kita sisihkan, yang ternyata merupakan faktor pendasaran utama bagi realisasi utuh bangunan jiwa manusia.

Hal ini, setidaknya menurut saya pribadi, berlaku pula untuk wahyu. Wahyu baru akan bermakna, ketika si aktor penanggap itu sudah digenapi sebagai manusia yang berketuhanan (atau menjadi anak-anak-Nya).Dan menurut pemahamanku, Perjanjian Baru itu lebih menitik-beratkan kebertanggapan (penggenapan)-nya atas Perjanjian Lama bukan pada aspek kewahyuan-Nya,  melainkan  lebih pada aspek sang aktor (manusia) penanggapnya (Aku tak merubah atau menambahkan setitik pun pada yang telah tertulis dalam Perjanjian Lama...). Baru pada  Perjanjian baru-lah, tanggapan manusia (aktor) yang telah menjiwai (memiliki spirit) kebertuhanannya (para aktor yang telah menjadi anak-anak-Nya) tergenapi (Aku dalam Tuhan dan Tuhan dalam aku...). Karena alasan inilah, Yesus tidak menanggapi kesesatan pikir manusia yang masih terpatok pada cara berpikir Perjanjian Lama dan menganggap-Nya sebagai raja pembebas (logika kuasa) saat Ia menapaki jalan salib kebisuan-Nya (anti tesis harapan manusia Perjanjian Lama). Untuk mensiarkan ajaran-Nya, Ia bahkan masih perlu membekali murid-murid utamanya dengan berbagai berkat Roh Kudus (dengan kata lain "spirit ketuhanan" alih-alih peneguhan wahyu kebahasaan) (dalam Kisah Para rasul), dan memilih penerus utama-Nya (Rasul Petrus) untuk menjaga dan membimbing domba-domba-Nya. Mengapa domba? Karena manusia seutuhnya yang tidak terjebak dalam logika atau kemuliaan kuasa itu rentan untuk menjadi korban sembelihan (memikul salib) yang disponsori/diprovokasi oleh manusia pemuja logika kuasa, dan bahasa adalah salah satu modalitas yang rentan untuk terseret pada alur keterbelahan/logika kuasa).Dengan demikian, dari awal kelahiran-Nya di kandang domba, Yesus telah menubuatkan sendiri jalan salib-Nya.Haleluyah! (Ref)

Sejauh yang saya pahami, ilmu psikologi khususnya, dan sains/filosofi sosial pada umumnya, kurang (bila bahkan dapat dikatakan tak pernah) mewacanakan tentang konstruksian dan tanggapan (respon) manusia pada ketiga modalitas tersebut.Informasi mengenai ketiganya lebih banyak diperoleh dari sumber-sumber kearifan peradaban kuno (yang sebagian besar terpinggirkan oleh arus deras visi modernisasi).Dominasi modalitas kebahasaan dan pemikiran dalam filsafat modern semakin meminggirkan atau bahkan menghapus arti penting dari ketiga modalitas tersebut. Psikologi,karena keterkaitan erat dan keterkungkungan-nya dengan sains,lebih banyak menitik beratkan pada penelitian tentang perkembangan modalitas oral dan kognitif. Dalam psikoanalisa dan psikosemiotika mulai terdeteksi gejala dan dampak keterjebakan ini dalam bentuk dinamika ketaksadaran tak beraturan (psikonalisa Freud) dan dalam bentuk ketaksadaran versi kebahasaan (Lacan) (Ref 1). Simbol-simbol kebahasaan yang dianggap muwakil keberhasratan manusiawi itu kian diteknikalisasi dan disimulasikan secara virtual sehingga keberjarakan manusia dengan dunia riil-nya kian dalam (intens) dan luas (ekstensif) serentak kian "lembut" (tak terasa).Illusi kebesaran dan kearogansian serta keberunggulan kognitif dan atau kebahasaan kian mewabah dan mengancam kesatuan umat manusia (Ref).  

Agama-agama besar yang mengklaim sebagai agama wahyu universal,  mungkin karena keterkungkungannya dalam ranah bahasa (atau gagasan/pemikiran) dan konsep ketunggalan, serta lebih mengandalkan dan menyandarkan klaimnya dengan "habit," hati, dan iman komunitas pada laku keteladanan idealnya (dimana sosok ideal itu di era globalisasi informasi ini kian terkikis dan tak terdukung), tanpa pernah menyentuh apalagi berupaya memahami dan mengontruksi serta menanggapi keberhasratan jamak manusiawi melalui wacana pra modalitas kebahasaan hanya akan menjadi alat pemecah belah umat yang disebabkan oleh lingkaran setan kebahasaannya. (ref) Hal ini terkait dengan kegagalan agama sebagai institusi untuk memberikan pemahaman dan keteladanan yang lebih  menyeluruh dan mencerahkan pada masyarakat yang sudah atau bahkan kian tersesat virus modernitas .Bila pembacaan agama sebagai institusi dianalogikan dengan upaya pembacaan teks kuno, mungkin kutipan dari referensi berikut jadi cukup menarik.

A necessary prerequisite for contemporary interpretation of ancient mythological literature is an appreciation of myth as a complex, multivalent form of symbolic discourse that cannot be reduced to a particular form, function, or mentality. (Sperber)


Kearifan sejumlah kecil peradaban kuno yang mengapresiasi wacana modalitas kinestetik, pendengaran dan penglihatan melalui kepekaannya pada berbagai isyarat kebertubuhan (tanpa berbagai label kebahasaan yang membatasi pembacaan isyaratnya) dari sesama atau dari hewan peliharaannya, dan kepekaan melalui berbagai macam pembacaan audio visual pada setiap gejala alam dunianya (yang kian tersisih oleh visi modernitas dan ajaran-ajaran radikal) akan memperlebar jarak konstruksian imajinasi pemikiran dari berbagai penanda (ref). Keberjarakan yang lahir secara alami (built-in) dan tidak bersifat eksternal kewahyuan ini mengandung dinamika psikis khusus yang tidak tergantikan oleh metoda pendidikan secanggih apapun (ref).Karena dalam pemaknaan (signifikasi) pada gesture, faktor konteks relatif lebih menonjol daripada faktor konten.Sebaliknya,faktor kontenlah yang relatif lebih menonjol dalam pemaknaan pada ucapan verbal (atau tulisan) (ref).Ungkapan superlatif (keagungan) dalam konten tidak bermakna dalam kejamakan/keragaman konteks, sedangkan ungkapan serupa (keagungan) dalam konteks meliputi/mencakup kejamakan (ragam) ungkapan konten.(ref) Misal, keunggulan atau kesempurnaan pada satu bidang tidak bermakna dalam situasi yang menuntut keragaman (keber-konteks-an), namun keunggulan atau kesempurnaan memaknai/ membaca konteks meliput beragam keunggulan konten. (ref)

"Symbolic interpretation in its native context, therefore, is not simply the process of decoding or assigning cultural values to symbols; rather, interpretation  is a mental improvisation based upon culturally implicit knowledge to explain the hidden, implied levels of signification beyond a symbol's literal referent....Meaning is thus always an interpretive rather than normative function " (ref Sperber).  

Jarak seperti itu,-yang pada komunitas orang bisu harus diperagakan-, dapat memunculkan visi baru tentang dunia. Visi dunia yang serba jamak, tanpa perlu mengibarkan berbagai slogan verbalisme tentang masyarakat plural. Pendidikan di era globalisasi yang lebih menonjolkan kesegeraan (serba instant) dan memicu lomba kecemerlangan pemikiran dan kefasihan serta kerunutan bicara secara tak disadari memangkas keberjarakan seperti itu, keberjarakan yang akan menumbuhkan visi kejamakan yang senantiasa menolak untuk dijadikan kebertunggalan karena keberjarakan tersebut menyangkut improvisasi mental. Dengan demikian makna senantiasa merupakan fungsi interpretasian alih-alih fungsi normatif (ref). Perkembangan harmonis keberpaduan lima modalitas ini dapat mengikis sebagian besar kompleks hasrat kerinduan untuk kembali pada persatuan dengan ibu. (ref)

Thus,the hermeneutical challenge to contemporary readers is to apprehend ancient cultural codes and meanings as fully as possible, at the same time that we  appropriate the texts in our own postmodern frames of referance. The best way to meet this challenge, in my opinion, is to approach the text from a variety of critical perspectives and to apply multiple forms of literary analysis.
(opiniku: sebagaimana orang bisu mendekati sesamanya yang juga bisu, tak dpt mengandalkan sekedar pada isyarat yang diberikan, tapi harus juga memperhitungkan ragam konteks dan ragam persepsiannya sendiri terhadap isyarat tanggapan yang akan diberikan. Ragam pendekatanlah yang teraplikasi dalam gambaran komunitas orang bisu). 

Mungkin karena alasan inilah, orang dari peradaban kuno lebih meyakini mitos alih-alih ajaran tunggal kesempurnaan melalui kebahasaan...

This dynamic quality means that myths do not necessarily portray actual social practise and ideology in an accurate fashion. Likened to a chameleon by Wendy Doniger, myths have an uncanny aptitude for reinterpretation and adaptation to new contexts because  of their inherently malleable character.

Salah satu alasan utama maraknya radikalitas dan kerentanan manusia modern pada setiap hiperprovokasi (istilah saya sendiri untuk berbagai provokasi virtual) adalah karena manusia secara tak sadar kian dipaksa/memaksakan diri untuk menjadi makhluk berdimensi tunggal yang sekedar menerima/meraih segala hal yang sudah harus terkemas/terpaketkan secara utuh dan rapih, bahkan dalam hal segi keberimanannyapun secara tak sadar menghasratkan keserbatuntasan  penyelesaian segala persoalan secara cepat (instant).  (ref) Hal ini merupakan salah satu cacat generik dari aspek kebahasaan dan atau kognitif. (ref) Segala hal yang dianggap logis dan berterima secara nalar  belum tentu benar dari segi realitas kejamakan. Dan hal ini tak dapat diajarkan di sekolah melalui metoda kognitif dan kebahasaan semata. Keteladanan dan relasi yang intens dengan orang yang menjadi sumber keteladanan (sebagaimana menjadi persyaratan dalam komunitas orang bisu yang jadi ungkap pengandaian saya)  serta pengembangan kemampuan membaca konteks alih-alih sekedar konten mutlak diperlukan.  Singkatnya, upaya konstruksi mental tak dapat digantikan dengan sekedar perolehan informasi.

Following Paul Ricoeur, I understand symbols to be expressive as well as referential forms ofsignification. Instead of merely referring to previously established social meanings, symbols create the possibility of new meanings: symbols "give rise thought," (Ref)

Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka pergeseran titik fokus ini sudah sangat mendesak dan perlu segera dipertimbangkan mengingat puncak-puncak yang akan/mungkin dicapai melalui kedua modalitas (kebahasaan dan pemikiran) tersebut telah memberikan sinyal atau pesan kemungkinan kemaslahatan dan keterancaman terbesar yang dikandungnya (inherent) bagi umat manusia (ref).

Fase perkembangan dari kedua modalitas padu (verbal dan kognitif) yang relatif jauh lebih lambat dari ketiga fase modalitas yang mendahuluinya serta lompatan kapabilitas yang dialami individu (seakan) menjadi patok peneguh klaim manusiawi untuk mengabaikan arti penting fase perkembangan sebelumnya dan menjadikan kedua modalitas tersebut sebagai fondasi utama pendidikan manusia selanjutnya (ref). Mungkin masih banyak hal prinsip yang memerlukan penelitian psikologi lintas budaya atau antropologi lebih lanjut terkait perbedaan dominasi wacana modalitas kebahasaan ini.  Hal paling sederhana yang mungkin untuk segera diteliti adalah perbedaan sistem nilai, cara berpikir (mind), representasi mental orang yang merawat dan menyayangi hewan peliharaan dengan orang yang tidak memelihara atau menyayangi hewan.  

#visiwaskita  #kecerdasanjamak  #kebhinekaan

Senin, 22 Desember 2014

“Nietzsche is dead” Saat Dunia Kebisuan Menghadang Perenungan Eksistensial-nya....



(Intisari Pungkasan Mengenai “Multiple Intelligence” - edisi NY 2015) 

Seandainya guru sejarah dapat berkisah tanpa suaranya, maka siswa akan cepat paham pada makna kisah derita, para gadis keturunan minoritas, korban peristiwa 13 Mei 1998 di tengah kebisuan dan sikap dingin para aparat penegak hukum negeri ini (karena di luar dunia bahasa dan pemikiran, di luar dunia ucap dan gagasan terdapat dunia atau dimensi ragam intellegensi lain yang jauh lebih kaya dan cemerlang).

Seandainya para ulama dan pendeta dapat berkotbah melalui kebisuannya, mereka akan amat enggan berbaur apalagi berkecimpung dalam dunia politik praktis (gagasan membentuk satu negara agama atau bahkan jadi penguasa tunggal dunia jadi amat absurd untuk dunia bisu seperti ini...).

Seandainya para pendidik tak lagi hanya mengajar gagasan lewat bahasa.
Seandainya dunia pendidikan tak lagi menguji siswanya melalui ungkap bahasa bicara dan tulis.

Seandainya para orang-tua, para ahli ekonomi, para pejabat dan petugas negara, para wakil rakyat, para petinggi militer dan penegak hukum, para pendidik, para motivator, para ahli jiwa serta para pendaku sabda dan iman-Nya tiba-tiba tertimpa wabah bisu!

Maka,...
Perlahan mereka terpaksa mencermati makna gerak tubuh,
Perlahan mereka menyadari keagungan makna tatapan mata sesama,
Perlahan mereka mulai belajar mendengar, dan mengagungkan setiap kidung agung keguyuban (tanpa perlu membentuk komunitas atau gerakan keguyuban apapun!).
Perlahan mereka mulai belajar dan paham tentang dunia yang sama sekali baru...
Dunia keberjamakan dari ragam satuan remah-remah kecil, satuan yang lemah serentak maha penting, namun terburai lepas.

Dalam dunia kebisuan seperti ini, kebenaran terbesar dan teragung bukan lagi kemaha-tunggalan yang singgah di pikiran dan hati gentar masing-masing insan bisu.
Dalam dunia seperti ini, keagungan dan kebenaran atau tuhan ter-akbar adalah alam kebenaran jamak atau tuhan kejamakan dan keberbagian.
Mungkin tuhan ter-akbar mereka adalah tuhan yang jamak, sebagaimana sesama insan bisu memuja alam kejamakan, alam kebersilaturohiman...
Kebenaran atau tuhan ter-akbar singgah di hati saat mereka berhasil menjalin relasi keberterimaan di antara sesama insan bisu.
Itulah surga atau taman getsemani mereka.
Dunia dimana anak-anak,  benar dan sungguh diperanakan oleh Tuhannya.
Kebesaran singgasana tunggal kebertuhanan sungguh absurd bagi sesama insan bisu dan dunianya.

Dunia bisu peng-agung “kewaskitaan” akan mengandalkan keber-”titen”-an (keberpekaan rasa dan tanggap) alih-alih ketajaman lidah atau pikiran.
Dunia yang memaksa para pelajarnya untuk mengutamakan kesabaran, kepekaan rasa dan tanggap alih-alih kecepatan dan ketajaman ungkap bahasa atau gagasan.
Dunia yang amat menghargai tindak kebersenian dan keindahan alam alih-alih kepiawaian ber-teknologi atau perekayasaan.
Dunia kebisuan ini adalah dunia keheningan tindak yang mencerahkan apresiasi cipta jamak keindahan alami, alih-alih keheningan refleksi pikir keberuniversalan atau keberteknologian.

Dunia yang selalu mendorong para pelajarnya untuk mengamati dan meresapi apapun. Bahkan mengamati dan meresapi gairah seksualitasnya sendiri tanpa perlu cemas dan takut akan label atau hujatan porno sekalipun.

Dunia yang memaksa pria dan wanita untuk jujur dan bersungguh dalam mendapatkan (bukan menemukan) “soulmate”-nya (karena tak mudah dan akan sangat melelahkan serta menguras banyak waktu dan tenaga untuk membagi perhatian istimewa secara adil pada lebih dari satu orang).

Dunia tanpa pandang hujatan bagi segenap cacat atau kelebihan sesama insani bisu (homoseks, gay, lesbianisme). Karena cacat tersandang di diri sendiri telah menjadi pelajaran berharga bagi mereka untuk tidak secara murahan menghujat.

Dunia yang warganya selalu berpikir ulang 1000 kali ulangan untuk bermimpi jadi pebisnis yang sekedar mengejar keuntungan materi.
Bukan karena alasan menghindar dari kerja, melainkan karena nilai-nilai keguyuban yang terlanjur basah mereka puja...

Dunia yang tak lagi memerlukan aparat militer, karena setiap insan senantiasa telah, sedang dan akan meniti momen-momen pertempuran hidup mati berkali-kali melawan egonya sendiri untuk dapat berterima dalam tatapan tuhan kebersilaturahiman atau tuhan kejamakan-nya.
Neraka paling jahanam dan mengerikan bagi setiap insan bisu di dunia ini adalah neraka keterkucilan (Sungguh celaka 12 kali 12, bagi si bisu yang dikucilkan...).
Mereka lebih suka menghadang pintu kematian daripada pintu keterkucilan...

Dunia yang disuburkan oleh iman yang sabar dalam kebisuan penuh perhatian dan keteladanan tindak diri, alih-alih iman keberkitaban yang sok tau dan cerewet. Mungkin pula, ini jadi dunia yang tidak memerlukan adanya para nabi atau tuhan sekalipun (Karena di dunia seperti ini, tuhan beserta sabda-Nya telah menyatu padu dalam alam keberjamakan atau kebersilaturohiman dan terungkap dalam peka-rasa, peka-tanggap dan kebertitenan).
Dalam dunia seperti ini, hanya orang gila yang masih berpikir apalagi mensiarkan tentang segenap ketunggalan atau esa kemahaan dari pintu ke pintu...

Dunia yang para politikusnya amat santun berkampanye (tanpa yel-2 atau gaung suara provokator).
Dunia yang memaksa para pemimpin pemerintah untuk kian tergila-gila dengan kebijakan blusukan ala Jokowi (karena dalam dunia seperti ini hanya orang dungu yang masih memiliki praduga sangka bahwa blusukan itu sekedar pencitraan).

Dunia yang tidak dipolusikan oleh kecerewetan media sosial, dan dunia yang masyarakatnya tak perlu gerakan guyub apapun, karena tanpa keguyuban, mereka pasti gagal dalam setiap keberelasian/kebersilaturohiman yang didamba dan dipuja.

Dunia yang tidak mengenal label lacur, bodoh, pintar, santun/saleh bahasa, runut, logis, alim, murtad, penghujat dan lain-lain label pembusuk atau pengagung jiwa perinsanian. Dunia yang bukan tanah subur bagi para pencemburu dari jenis atau kaliber apapun (dari pencemburu ideologi, pencemburu kelompok kepentingan politik hingga pencemburu kelamin, karena di dunia seperti ini pencemburu sama dengan orang gila yang terobsesi untuk kerja rodi).

Dunia yang tak membutuhkan satupun ahli jiwa, karena satu-satunya terapi handal yang memenuhi kehausan mereka akan keberelasian/kebersilaturohiman sudah mereka kuasai sendiri.

Akhirnya, aku tercenung dan bertanya-tanya...
Betapa tahta agung keberbahasaan dan kebercemerlangan gagasan yang memunculkan Tuhan kecerdasan tunggal (beserta segenap implikasian positif maupun negatifnya)  telah menyesatkan banyak jiwa-jiwa modern yang tak lagi sempat membayangkan atau memikirkan dunia kebisuannya.

Mungkin dunia seperti ini yang jadi cita-cita pencerah spirit para pioner pejuang negeri Nuswantara-ku. Semangat kebisuan dalam dunia kebermelekan aksara dan kefasihan cakap.
Semangat dan roh yang kuimpi-impikan akan menuntun segenap hidup anak turunanku (…, dan Nietsczhe pun menghembuskan nafas terakhir dalam keterguncangan dan ketersudutan visi “ketajaman bahasanya” sendiri, pada saat yang diyakininya sebagai momen atau detik-detik kelahiran Yesus. Tentu saja ini terjadi dalam arus deras keterguncangan jiwanya. Wallahualam!)

Selamat Natal dan Tahun Baru 2015.
Gloria in excelsis Deo...
Ia yang pada akhirnya memilih kebisuan jalan salib-Nya. GBU !

#iisavisiwaskita   #kecerdasanjamak  #kebersilaturohimaninsani